Jumat, 01 Juni 2012

sekedar Promosi,qiqi


Pengalaman Baru


Selalu saja, hidup ini, ada hal-hal baru bagi kita. Entah itu alamiah “kejutan” dari Sana, atau kita sendiri yang membuatnya. Tapi kali ini, bagiku, sepertinya hal baru yang bukan bersifat alamiah atau datang begitu saja; aku merencanakan sudah cukup lama dan matang; untuk belajar cari uang halal dengan kaki tangan sendiri (gaya ya? Hihi). Akan tetapi juga, aku percaya, sangat yakin, Tuhan juga ikut andil disetiap rencana hamba-hamba-Nya, termasuk hamba yang dhoif ini. Iyakan, Gusti? Karena kusadari benar, Dia-lah yang mememepertemukanku dengan seseorang yang dijadikan sebagai relasiku, untuk (belajar) berwirausaha bersama—yang setelah kucari-cari ia dari sebagian banyak teman, kurayu-rayu ia dari sebagian banyak lawan, kuyakinkan ia dari sebagian banyak kenalan, akhirnya dipersatukan juga, toh. Siapa sih? Perkenalkan deh, Lela Badriah, bukan Lela Majnun, panggil saja Lela, teman sekostan sekampus seperjuangan sepermainan—yang hari kemarin aku ajak untuk jualan, eh bisnis ding alias berwirausaha. Biar agak keren sedikit istilahnyalah. Heheheheheee…


Tibalah hari yang kurencanakan; Sabtu, tanggal 12 Mei 2012, kupilih sebagai awal dari sebuah hal baru; berwirausaha. Usaha Apa sih? Hmmm... Baik, oke, sebetulnya aku agak kurang pd menceritakannya, sih. Bukan apa-apa juga sebetulnya, sih. Sangat biasa sekali, sih. Iiihhh… Pingin tahu saja, sih? Terus baca saja, ya?! J
Usaha yang kuciptakan bukan usaha semacam rintisan Karl Albrecht, yang memiliki jaringan supermarket Aldi Sud berjumlah 4500 toko di Jerman, termasuk 1200 toko yang tersebar di 32 negara bagian Amerika Serikat. Tapi aku bersama temanku, Lela—mencoba membuka usaha kecil-kecilan memproduksi Ketan Susu. Ihiiirrr… En-do-ne-sia se-ka-leee…, kan?
Siang yang hampir sore, ketika jam dinding di kamar kostanku menunjuk pada angka 2 lewat 30, yang jika ada orang bertanya; “Pukul berapa, Hani?” “Pukul setengah tiga, trés,” jawabku telak. Ya, aku dan Lela mulai  sigap menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk dijadikan ketan susu. Mulai dari bahan-bahan yang dijamin halal, alat-alat produksi yang amat bersih, dan resep-resep super jitu (tak usah deh dijelaskan demi menjaga rahasia perusahaan. Hihihihiii…).
Singkatnya, khusus untuk bahan-bahan semua kami cuci, membilasnya, merendamnya, lalu dimasak setengah matang saja di atas kompor yang berapi. Setelah selesai, dikukus satu jam, tidak boleh kurang atau sedikit lebih sih, boleh—saran koki di majalah entah. Hingga tibalah waktu yang sudah kuperkirakan, pukul 5 sore. Yess, matang!
Di meja makan, telah kami sediakan pula 24 tempat mika mini, susu bungkusan super mini, steples, serta daun Pandan, tapi, wah untuk daun Pandan sepertinya belum disediakan, nih. Mendadak kami cari. Di penjual-penjual sekelas warung ada deh, pikirku. Tapi, ketika baru sejengkal saja keluar kostan, dikejutkan oleh tanaman daun Pandan yang berhelai-helai tertanam di beranda depan, baru tahu euy. Langsung pangkas daun dah!
Selanjutnya, juga tak lupalah kami siapkan: double tip, centong, dan tak ketinggalaaan juga berlembar-lembar label bertuliskan “KETAN SUJU, Ketan susu keju", ya, sebagai trade mark—yang menempel di bungkusannya itu coy. Hihi. Oke, sekarang siap meracikkan? Hmmm..., btw. sebuah merk yang sangat menarik, bukan? Merk yang semoga saja akan melegenda. Hehe. Iya harus dong, mengalahkan merk-merk makanan manapun. Ciecieee… Hahahaaa… Amiiin…
Tiktak. Jam mengingatkan kami, untuk menjajakannya segera, pukul 5.30 mau magrib, katanya. Jadilah Hani dan Lela segera cabut dari dapur kostan ke Alun-alun Purwokerto, membawa 24 bungkus ketan susu So Sweet yang siap sempurna dibeli, dimakan, dan dicerna oleh konsumen kami. Haha.
Krasak. Kami akan menempuh jarak menggunakan Mio putih, tentu sangat cepat, bukan? Semoga berimbas jualan kami laku habis, cepat pula. Amin lagi, ah!
Tapi tunggu dulu. Di tengah jalan, keseriusan niat makin terus menggumpal saja, nih. Hingga membuat fikiran kami loncat ke sebuah titik; memikirkan perlunya menyediakan uang recehan, untuk jaga-jaga kembalian uang jenis “gelondongannya” orang-orang di Alun-alun sana yang mau beli ketan susu So Sweet produksi kami. Ah, fikiran yang jitu lagi oke, nih. Maka beloklah kami ke sebuah pom bensin, untuk menukarkan uang, ribuan semua. Biar enak, kami juga punya rasa belas kasihan juga dong, sekalipun pada SPBU yang menyediakan buanyak uang recehan; sekalian mengisi bensin untuk tank Mio kesayanganku yang agak kerontang. Hihi.
Sampai di Alun-alun, langit menghampar telah gelap, pemirsa. Itu tandanya waktu maghrib sudah masuk, kata Lela. Sholat dong? Wajib!
Dag-dig-dug-der. Oke, dengan tekad dan rasa kepercayaan diri yang telah mendekap kami sehabis sholat. Mulailah kami menjajaki orang-orang yang sedang berfantasi di sana: mulai dari  ibu-ibu, bapak-bapak,  orang-orang dewasa, remaja-remaji, sampai anak-anak yang umurnya baru hitungan jari tangan. Eh, di pojok sana juga ada seorang lelaki yang sedang sendirian loh—duduk santai mengurai malam tak jauh dari gerobak PKL, di sampingnya tersanding secangkir kopi, serta tangan dan bibirnya yang memainkan rokok—penyairkah?
Kami tawarkan satu persatu dengan rayuan gombal bau promosi, “Ketan ketan, ketan ini terbuat dari santan gurih, manis, enak dan murah, cuma 2 ribu rupiah!”, yang akhirnya sebagian orang-orang diam-diam menelan rayuan tengik kami—terutama kata-kata Lela yang aha! (Lela…, kita nyerocot bae ya sewaktu berjualan di Alun-alun? Sadar nggak sih,  rayuan kita lebih tajam dari sales yang sudah tingkat Dewa! Hahahahahaaa… Peduli amat, biarlah pengalaman akan mengajari kita. Tapi sebuah kebenaran, Lela, tenggorokanku sampai kering loh!!)
Lela, bermacam-macam yang kita dapatkan dari hal baru yang kita lakonin itu. Capeklah, bingunglah, kritikanlah, tawaranlah, dilemalah, saranlah, dan lucunya; godaan pun datang juga. Busyet dah, dimintain nomor handphone segala. Poko’e enak pisaaannn, campur aduklah. Tapi hebat juga orang yang minta nomor handphone kita itu, dia beli sampai 5 bungkus ketan susu So Switte buatan kita loh. Bolehlah!
Satu jam lamanya menyusuri Alun-Alun Purwokerto, Lela. Jengkal demi jengkal kita susuri: ke tengah, menepi, balik ke tengah lagi, beranjak ke tepi lain lagi, ke tengah-tengah lagi, muter-muter pokoke, hingga akhirnya jualan kita HABIS, Lela! Alhamdulilah ya, patut BERSYUKUR sama Allah SWT yang telah memberikan kita segala apapun selagi kita mau berusaha. Benar-benar pertama melakukan hal seperti ini. Hal baru yang mampu buat rasa manja ini mengerti, betapa orang tua kita mencari rizki buat keluarga sangatlah tak semudah kita mengeluar-habiskan hasil jerih-payahnya. Capek saja tak akan sebanding dengan apa yang orang tua berikan dan perhatikan pada kita, baik moril maupun materil.
Setidaknya, Lela, Hani benar-benar menyadari dan mengerti bagaimana Mamaku, Papaku, Mamiku, dan Abahku, yang menyuruhku untuk prihatin, prihatin, dan terus belajar prihatin menyiasati pemberian Tuhan.
Uang 20 ribu rupiah yang kita dapatkan, nett, setidaknya sudah ada hikma yang mengilhami kita, semoga. Ya, pelajaranlah yang kita dapatkan. Haruslah melalui proses dan pengorbanan yang keras untuk mendapatkan setetes rizki, rasa kecapekan pun kita harus telan-rasakan, yang kemudian barulah hasil kita dapatkan—itu pun kalau Tuhan meridhoi. Terima kasih, ya Rabb. Mama, Papa, dan keluarga, J, TERIMA KASIH Hani haturkan. Hani mencintai dan menyayangi kalian…***





Jualan lagi nggak ya?
:-p = :(to)p !

ˆ-ˆ