Pengalaman
Baru
Selalu saja, hidup ini, ada hal-hal
baru bagi kita. Entah itu alamiah “kejutan” dari Sana, atau kita sendiri yang
membuatnya. Tapi kali ini, bagiku, sepertinya hal baru yang bukan bersifat
alamiah atau datang begitu saja; aku merencanakan sudah cukup lama dan matang; untuk
belajar cari uang halal dengan kaki tangan sendiri (gaya ya? Hihi). Akan tetapi
juga, aku percaya, sangat yakin, Tuhan juga ikut andil disetiap rencana
hamba-hamba-Nya, termasuk hamba yang dhoif ini. Iyakan, Gusti? Karena kusadari
benar, Dia-lah yang mememepertemukanku dengan seseorang yang dijadikan sebagai relasiku,
untuk (belajar) berwirausaha bersama—yang setelah kucari-cari ia dari sebagian
banyak teman, kurayu-rayu ia dari sebagian banyak lawan, kuyakinkan ia dari
sebagian banyak kenalan, akhirnya dipersatukan juga, toh. Siapa sih? Perkenalkan deh, Lela Badriah, bukan Lela Majnun, panggil
saja Lela, teman sekostan sekampus seperjuangan sepermainan—yang hari kemarin aku
ajak untuk jualan, eh bisnis ding
alias berwirausaha. Biar agak keren sedikit istilahnyalah. Heheheheheee…
Tibalah hari
yang kurencanakan; Sabtu, tanggal 12 Mei 2012, kupilih sebagai awal dari sebuah
hal baru; berwirausaha. Usaha Apa sih? Hmmm... Baik, oke, sebetulnya aku
agak kurang pd menceritakannya, sih. Bukan apa-apa juga sebetulnya,
sih. Sangat biasa sekali, sih. Iiihhh…
Pingin tahu saja, sih? Terus baca saja, ya?! J
Usaha yang
kuciptakan bukan usaha semacam rintisan Karl Albrecht, yang memiliki jaringan
supermarket Aldi Sud berjumlah 4500 toko di Jerman, termasuk
1200 toko yang tersebar di 32 negara bagian Amerika Serikat. Tapi aku bersama temanku,
Lela—mencoba membuka usaha kecil-kecilan memproduksi Ketan Susu. Ihiiirrr… En-do-ne-sia se-ka-leee…, kan?
Siang yang hampir
sore, ketika jam dinding di kamar kostanku menunjuk pada angka 2 lewat 30, yang
jika ada orang bertanya; “Pukul berapa, Hani?” “Pukul setengah tiga, trés,” jawabku telak. Ya, aku dan Lela mulai
sigap menyiapkan segala kebutuhan yang
diperlukan untuk dijadikan ketan susu. Mulai dari bahan-bahan yang dijamin halal,
alat-alat produksi yang amat bersih, dan resep-resep super jitu (tak usah deh dijelaskan
demi menjaga rahasia perusahaan. Hihihihiii…).
Singkatnya, khusus
untuk bahan-bahan semua kami cuci, membilasnya, merendamnya, lalu dimasak
setengah matang saja di atas kompor yang berapi. Setelah selesai, dikukus satu
jam, tidak boleh kurang atau sedikit lebih sih, boleh—saran koki di majalah
entah. Hingga tibalah waktu yang sudah kuperkirakan, pukul 5 sore. Yess, matang!
Di meja makan,
telah kami sediakan pula 24 tempat mika mini, susu bungkusan super mini, steples,
serta daun Pandan, tapi, wah untuk daun Pandan sepertinya belum disediakan,
nih. Mendadak kami cari. Di penjual-penjual sekelas warung ada deh, pikirku. Tapi,
ketika baru sejengkal saja keluar kostan, dikejutkan oleh tanaman daun Pandan yang
berhelai-helai tertanam di beranda depan, baru tahu euy. Langsung pangkas daun
dah!
Selanjutnya,
juga tak lupalah kami siapkan: double tip, centong, dan tak ketinggalaaan juga
berlembar-lembar label bertuliskan “KETAN SUJU, Ketan susu keju", ya, sebagai trade mark—yang menempel di
bungkusannya itu coy. Hihi. Oke, sekarang siap meracikkan? Hmmm..., btw. sebuah merk yang sangat menarik,
bukan? Merk yang semoga saja akan melegenda. Hehe. Iya harus dong, mengalahkan merk-merk
makanan manapun. Ciecieee… Hahahaaa… Amiiin…
Tiktak. Jam
mengingatkan kami, untuk menjajakannya segera, pukul 5.30 mau magrib, katanya.
Jadilah Hani dan Lela segera cabut dari dapur kostan ke Alun-alun Purwokerto,
membawa 24 bungkus ketan susu So Sweet yang siap sempurna dibeli, dimakan, dan
dicerna oleh konsumen kami. Haha.
Krasak. Kami akan
menempuh jarak menggunakan Mio putih, tentu sangat cepat, bukan? Semoga
berimbas jualan kami laku habis, cepat pula. Amin lagi, ah!
Tapi tunggu
dulu. Di tengah jalan, keseriusan niat makin terus menggumpal saja, nih. Hingga
membuat fikiran kami loncat ke sebuah titik; memikirkan perlunya menyediakan
uang recehan, untuk jaga-jaga kembalian uang jenis “gelondongannya” orang-orang
di Alun-alun sana yang mau beli ketan susu So Sweet produksi kami. Ah, fikiran
yang jitu lagi oke, nih. Maka beloklah kami ke sebuah pom bensin, untuk
menukarkan uang, ribuan semua. Biar enak, kami juga punya rasa belas kasihan juga
dong, sekalipun pada SPBU yang menyediakan buanyak
uang recehan; sekalian mengisi bensin untuk tank Mio kesayanganku yang agak
kerontang. Hihi.
Sampai di Alun-alun,
langit menghampar telah gelap, pemirsa. Itu tandanya waktu maghrib sudah masuk,
kata Lela. Sholat dong? Wajib!
Dag-dig-dug-der.
Oke, dengan tekad dan rasa kepercayaan diri yang telah mendekap kami sehabis
sholat. Mulailah kami menjajaki orang-orang yang sedang berfantasi di sana:
mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, orang-orang dewasa, remaja-remaji, sampai
anak-anak yang umurnya baru hitungan jari tangan. Eh, di pojok sana juga ada seorang
lelaki yang sedang sendirian loh—duduk santai mengurai malam tak jauh dari gerobak
PKL, di sampingnya tersanding secangkir kopi, serta tangan dan bibirnya yang
memainkan rokok—penyairkah?
Kami tawarkan
satu persatu dengan rayuan gombal bau promosi, “Ketan ketan, ketan ini terbuat
dari santan gurih, manis, enak dan murah, cuma 2 ribu rupiah!”, yang akhirnya sebagian
orang-orang diam-diam menelan rayuan tengik kami—terutama kata-kata Lela yang
aha! (Lela…, kita nyerocot bae ya sewaktu
berjualan di Alun-alun? Sadar nggak sih, rayuan kita lebih tajam dari sales yang sudah
tingkat Dewa! Hahahahahaaa… Peduli amat, biarlah pengalaman akan mengajari kita.
Tapi sebuah kebenaran, Lela, tenggorokanku sampai kering loh!!)
Lela, bermacam-macam
yang kita dapatkan dari hal baru yang kita lakonin itu. Capeklah, bingunglah,
kritikanlah, tawaranlah, dilemalah, saranlah, dan lucunya; godaan pun datang juga.
Busyet dah, dimintain nomor handphone segala. Poko’e enak pisaaannn, campur aduklah. Tapi hebat juga orang yang
minta nomor handphone kita itu, dia beli sampai 5 bungkus ketan susu So Switte buatan
kita loh. Bolehlah!
Satu jam lamanya
menyusuri Alun-Alun Purwokerto, Lela. Jengkal demi jengkal kita susuri: ke
tengah, menepi, balik ke tengah lagi, beranjak ke tepi lain lagi, ke
tengah-tengah lagi, muter-muter pokoke,
hingga akhirnya jualan kita HABIS, Lela! Alhamdulilah ya, patut BERSYUKUR sama
Allah SWT yang telah memberikan kita segala apapun selagi kita mau berusaha.
Benar-benar pertama melakukan hal seperti ini. Hal baru yang mampu buat rasa
manja ini mengerti, betapa orang tua kita mencari rizki buat keluarga sangatlah
tak semudah kita mengeluar-habiskan hasil jerih-payahnya. Capek saja tak akan sebanding
dengan apa yang orang tua berikan dan perhatikan pada kita, baik moril maupun
materil.
Setidaknya,
Lela, Hani benar-benar menyadari dan mengerti bagaimana Mamaku, Papaku, Mamiku,
dan Abahku, yang menyuruhku untuk prihatin, prihatin, dan terus belajar
prihatin menyiasati pemberian Tuhan.
Uang 20 ribu
rupiah yang kita dapatkan, nett, setidaknya
sudah ada hikma yang mengilhami kita, semoga. Ya, pelajaranlah yang kita
dapatkan. Haruslah melalui proses dan pengorbanan yang keras untuk mendapatkan
setetes rizki, rasa kecapekan pun kita harus telan-rasakan, yang kemudian barulah
hasil kita dapatkan—itu pun kalau Tuhan meridhoi. Terima kasih, ya Rabb. Mama, Papa,
dan keluarga, J, TERIMA KASIH Hani haturkan. Hani mencintai dan menyayangi
kalian…***
Jualan
lagi
:-p
= :(to)p !
|